Hubungan Indonesia
dan Negara-negara lain: Australia
dan Timur tengah
HUBUNGAN INDONESIA DAN AUSTRALIA
Fokus pembahasan seputar hubungan
Indonesia-Australia dipaparkan sepanjang pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Isu hubungan diplomatik Indonesia dan Australia selalu
dilatarbelakangi oleh kepentingan di Irian barat dan Timor timur.
PERIODE SOEKARNO
Hubungan antara Indonesia dengan Australia pada tahun
1945-1950 sangat kuat. Pada saat itu, Australia mendukung
gerakan kemerdekaan Indonesia . Pada awal
usaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda melalui perundingan yang
dirangkum dalam perwakilan tiga negara, Indonesia menunjuk Australia sebagai
mediator dalam perundingan.
Perjalanan hubungan Indonesia dan Australia pertama kali
ditandai pada masa perjuangan Indonesia untuk
kemerdekaan. Pada masa kepresidenan Soekarno , Indonesia menjalankan
politik luar negeri yang militan dalam usaha menggalakkan kampanye pembebasan
Irian Barat, hubungan diplomatik keduanya pun dinilai dingin (Suryadinata,
1998,p115.).
Pada tahun 1949, terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh
Belanda. Akan tetapi muncul isu Belanda tidak berniat melepaskan Irian Barat.
Sebaliknya Soekarno bersikeras ingin menjadikan Irian Barat masuk dalam Indonesia karena Irian
Barat bekas jajahan Belanda. Pada poin ini, hubungan antara Indonesia dengan Australia merenggang
karena Australia mendukung Belanda.
Australia dibawah
pemerintahan Menzies Australia melihat
tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikawatirkan menjadi ancaman
keamanan Australia
(Suryadinata, 1998).
Pada tahun 1961, sikap Australia terhadap Indonesia
perlahan-lahan melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia dengan
belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan
menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun itu pula menteri luar negeri
Australia Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Australia untuk takut
terhadap klaim Indonesia atas irian
Barat. Barwick juga mengubah haluan Australia yang
kemudian mendukung Indonesia asal semua
berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan setuju atas kontrol Indonesia terhadap
Irian Barat walaupun banyak dikritk oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia adalah
karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih
menguntungkan dari pada dengan Belanda , Australia ingin
menghindari peperangan dengan negara tetangga terdekat dan mispersepsi tentang Indonesia .
PERIODE SOEHARTO
Pada masa pemerintahan Soeharto, yang menjadi isu
dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia adalah Timor timur (pemberontakan
Fretilin) 1974-1982, peristiwa D Jenkins yang berbuntut pertentangan dengan
pers Australia 1976-1986, Timor timur II 1991,
Hubungan diplomatik sepanjang 1974 antara
pemerintahan Soeharto dan PM Australia, Gough Whitlam tercermin dalam sikap
kooperatif Australia manakala Timor timur hendak diintegrasikan ke dalam
wilayah Indonesia secara damai (Suryadinata, 1998, p.116). akan tetapi,
tindakan Indonesia yang
melakukan pendudukan agresif di Timor timur
dikritik publik Australia dan akhirnya
pemerintah Australia pun
mengkritiknya di PBB. Kritik ini diyakini muncul akibat aksi invasif Indonesia yang
mengakibatkan lima wartawan Australia tewas. Sejak
saat itu, pers Australia gencar
melakukan pemberitaan yang konfrontatif dan kritis terhadap Indonesia .
Ketika kursi perdana menteri dipegang oleh
Malcolm Fraser pada 1976. Indonesia masih kerap
mendapatkan kritik tajam dari Australia , antara lain
Fraser dan James Dunn, mantan konsul Australia di Timor Timur 1977. Pada 1982,
hubungan diplomatik Indonesia-Australia mulai meninggalkan isu Timor Timur,
ketika PM Australia, Anthony Street mengajak masyarakat Internasional untuk
mulai mengesampingkan isu tersebut (Suryadinata, 1998, 118).
Konflik pers Australia menyusul
pemberitaan oleh D Jenkins (1986) mengakibatkan pembekuan hubungan Indonesia dengan Australia secara
sepihak (Suryadinata, 1998, p. 118-120). Hal itu dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai
cermin dari kemarahan dari rasa tersinggung terhadap pemberitaan yang
mengungkap jaringan usaha Soeharto, singkat kata nepotisme. konflik Indonesia
melawan publik pers Australia semata-mata merupakan mispersepsi yang terjadi
seputar arti dan implementasi demokrasi masing-masing, yang mana demokrasi di
Australia mengijinkan seluas-luasnya kebebasan pers dan berpendapat di
daerahnya, sementara saat itu pemerintah Indonesia masih tertutup dari
keterbukaan yang demikian yang menjadi karakter era Soeharto yang terlalu
proteksionis.
Masa Menteri Luar Negeri Ali Alatas, menggunakan
pendekatan personal antara Alatas dengan PM Australia Gareth Evans, hubungan
bilateral kedua negara pun melunak kembali hingga isu Timor Timur untuk kedua
kalinya muncul ke permukaan di tahun 1991 (Suryadinata, 1998, p.122). Meskipun
isu Timor timur tidak menghilang, peran PM Australia Paul Keating dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dinilai sangat akomodatif dan
kooperatif, lebih singkat Suryadinata (1998) menjelaskan bahwa semata-mata
dikarenakan adanya pergeseran kepentingan Australia terhadap isu pembangunan
blok kepentingan ekonomi non-China yang memposisikan Indonesia sejajar dengan
Vietnam dan Australia untuk tidak terlibat ke dalam orbit China. Kemudian
hubungan baik Indonesia-Australia dengan berhasil diimplementasikan ke dalam
penandatangan perjanjian seputar penghormatan keamanan kemerdekaan politik dan
keutuhan wilayah kedua negara (Suryadinata, 1998, p.124).
Kerjasama Bilateral Indonesia dan Australia
Sebelumnya telah diulas secara
historis ikatan hubungan diplomatik bilateral antarkedua negara. implementasi
hubungan diplomatik yang ideal adalah terjalinnya suatu kerjasama berdasarkan mutual
understanding antara
lain meliputi berbagai aspek sebagai berikut: (1) Standarisasi melalui MoU Concerning
cooperation on Standards and Conformance.(2) Perdagangan,
direfleksikan melalui Agreement, A trade agreement between the republic of
Indonesia and the Commonwealth of Australia nota persetujuan dagang no agenda
346. (3) kultur melalui Cultural Agreement between the Government of republic Indonesia and the government of
Commonwealth of Australia . (4) Ekonomi melalui Exchange
of Letters. (5)Wilayah melalui Establishing Certain Seabed
Boundaries dll. (dephan.gov.id)
HUBUNGAN INDONESIA-TIMUR TENGAH
Islam dan Politik luar negeri. Seringkali
hubungan bilateral Indonesia dan Timur
tengah disinergikan dengan adanya atribut nasional Indonesia yang demografi
penduduknya terdiri dari mayoritas muslim. Susunan demografi tersebut akankah
membentuk opini publik domestik yang cenderung condong kepada simpati terhadap
konflik-konflik di Timur tengah, seperti Palestina-Israel , Lebanon ? Seringkali
pula observasi politik luar negeri Indonesia dan Timur
tengah jatuh dalam kerangka kepentingan domestik dan situasi domestik. Berbagai
tulisan telah dihasilkan oleh Bantarto Bandoro (1994) dan Leo Suryadinata
(1998) dapat menjadi referensi yang berguna untuk membantu menjawab seputar isu
dan hubungan diplomatik Indonesia dan Timur tengah dalam kerangka politik luar
negeri, baik era Soekarno dan Soeharto secara singkat di bawah ini.
Fokus pembahasan seputar hubungan Indonesia-Timur
dipaparkan sepanjang pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Hubungan diplomatik
Indonesia dan Timor tengah menurut Suryadinata (1998) secara garis besar
dilatarbelakangi oleh isu seputar Organisasi Pembebasan Palestina, Organisasi
Konferensi Islam, invasi Irak ke Kuwait dan isu Bosnia.
PERIODE SOEHARTO
Pernyataan Soeharto (1987) yang menegaskan posisi
Indonesia dalam
memandang konflik Palestina antara lain menilai keadilan mesti diberikan kepada
rakyat Palestina. Hubungan Indonesia-Palestina ditandai oleh pembukaan kedutaan
Palestina di Jakarta sesuai dengan
permintaan Yasser Arafat ketika digelar Konferensi Non-Blok di Beograd, Yugoslavia (1989).
Hubungan bilateral Indonesia-Irak lebih banyak
dilandasi oleh sikap netral terhadap berbagai isu internasional berhubungan
langsung dengan Irak antara lain invasi Irak ke Kuwait (1991).
Posisi Irak sebagai anggota Non-Blok menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia untuk
menerapkan posisi netral, sekaligus mencerminkan kapabilitas Indonesia memainkan
peran yang lebih independen sebagai reaksi terhadap adanya embargo ekonomi dan
resolusi PBB (Suryadinata, 1998, p.211).
Berbeda dengan Irak, politik luar negeri Indonesia dalam
menjaga hubungan diplomatik dengan Iran terletak
pada soal keamanan. Hubungan bilateral Indonesia-Iran terjalin dengan baik
semasa Iran dipimpin
oleh Syeh Iran . Akan
tetapi, revolusi Iran pada 1979
mengakibatkan Indonesia bersikap
hati-hati.
Hubungan Indonesia dengan Saudi
Arabia selama ini sangat banyak ditentukan
oleh bagaimana Saudi Arabia memberikan
feedback layanan haji bagi jemaah Indonesia . Insiden
Mina (1990) yang mengakibatkan 700 jemaah haji Indonesia meninggal yang tidak
ditanggapi oleh pemerintah Saudi secara intensif, mengakibatkan Indonesia
cenderung mengambil langkah hati-hati.
Secara singkat dalam tulisannya tentang hubungan Indonesia denga Timur
Tengah, Suryadinata (1998,p.207) hubungan Indonesia dan Libia
pada era orde baru tidak terlalu akrab karena anggapan militer Indonesia yang percaya
bahwa Libia mendukung gerakan separatis Islam di Aceh.
Isu yang paling monumental sepanjang sejarah
pergolakan politik di Timur tengah adalah meletusnya perang Teluk I & II,
perang Irak, embargo udara oleh Pemerintah Saudi, konflik Palestina-Israel.
Sikap Indonesia terhadap peristiwa tersebut di atas adalah tetap menjaga
langkahnya dalam posisi netral dan hati-hati. Ini selaras yang diungkapkan oleh
Menlu Ali Alatas ketika dikonfirmasi mengenai Perang teluk I, sebagai contoh,
ia mengungkapkan bahwa Indonesia tidak dapat masuk ke dalam krisis teluk secara
tiba-tiba dan menwarkan solusi terhadap konflik tersebut. (konsekuensinya)
Indonesia akan terpental ke luar, sebagaimana ia mengilustrasikan bahwa
indonesia juga tidak menginginkan Aljazair dan Mesri masuk ke dalam isu Kamboja
secara tiba-tiba (1991).
Implementasi kerjasama Indonesia dan
negara Timur tengah secara lengkap dapat terlihat melalui penandatangan
perjanjian dan serangakaian MoU yang memuat keseluruhan aspek meliputi ekonomi,
wilayah, perdagangan, kebudayaan, teknis dan lain-lain seperti yang tertera di
departemen pertahanan dan keamanan Indonesia (www.dephan.gov.id). Secara asosiatif, implementasi
kerjasaman Indoenesia dapat dilihat dari partisipasinya dalam berbagai
institusi internasional seperti OKI (1969) yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas
Islam di antara negara anggota, serta mengkoordiasikan kerjasama antarnegara
anggota, mendukung perdamaina dan keamanan internasional dan melindungi
tempat-tempat suci Islam serta membantuk pembentukan negara palestina yang
merdeka dan berdaulat (www.deplu.go.id);
dan G15 sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara
berkembang yang terdiri dari Mesir, Indonesia, Iran, Aljazair, Aegentina,
Braxil, Chile, Kolombia, India, Jamaika, Kenya, Malaysia, Meksiko, Nigeria,
Peru, Senengal, Sri Lanka, Venezuela dan Zimbabwe (www.deplu.go.id); dan D-8.
ANALISIS
Kebijakan suatu negara pada umumnya
merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi antarnegara mengenai satu
peristiwa tertentu yang terjadi. Berbagai perkembangan tipikal bisa menimbulkan
perubahan arah kebijakan (Bandoro, 1994). Sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, kita belajar dari fluktuasi hubungan Indonesia dan Australia yang mana
setiap pemegang pemerintahan tertinggi membawa karakteristik arah diplomasi
politik yang berbeda. Sewaktu-waktu jika menteri luar negeri Indonesia dan
presidennya sanggup berinteraksi secara kooperatif dengan perdana menteri Australia , maka
terdapat kecenderungan keduanya bisa meredakan ketegangan bahkan sebaliknya
menciptakan kerjasama dan kesepakatan pada akhirnya. Begitu pula sebaliknya,
jika kedua pihak membawa sikap ofensif dan saling kritik tanpa adanya niat
untuk menjalin kepahamanan, maka yang terjadi adalah ketegangan. Peristiwa dan
isu domestik berpotensi besar mengundang kritikan dari masyarakat
internasional, tentu saja itu dikarenakan Indonesia selalu
berdekatan dengan negara lain. Selain itu, belajar dari hubungan Indonesia dan Australia , kita
mengetahui bahwa pers (media dan informasi) bisa bertransformasi menjadi batu
sandungan hubungan bilateral. Oleh karena itu, penting sekali bagi decision
maker untuk
mempelajari isu pers secara lebih intensif sebelum membekukan secara sepihak
hubungan diplomatik. Dari berbagai pergolakan politik di timur tengah, kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa di tengah konflik internal suatu negara, asas
non-intervensi mesti diletakkan sebagai prioritas fundamental membangun sikap
hati-hati agar tidak dengan mudah terperosok pada konflik yang sudah terjadi.
Selain itu, posisi yang mungkin dimiliki oleh negara lain terhadap indonesia
juga menjadi pertimbangan utama menentukan sikap politik agar tidak memperparah
kondisi dan situasi, misalnya perang teluk I yang melibatkan Irak; Indonesia
mesti mempertimbangkan posisi dan partisipasi politik Irak sebagai sesama
gerakan Non-Blok.
nice.. :)
BalasHapus